Kamis, 01 Maret 2018

Aku Mencintaimu, Senja

Jika waktu mengijinkan, aku ingin menjadi senja.

Sebab…

Senja tak pernah menyalahkan awan kelabu yang sering menutupi keindahannya.

Senja sebuah lambang keikhlasan hati terdalam, menerima segala garis yang telah digariskan.

Ketika separuh bumi gelap, langit menyisakan sedikit cahaya jingga untuk kita.

Sesaat jingga menghilang dalam senja yang larut di batas waktu.

Bukankah kau tau bahwa senja akan segera berlalu?

Senja tak pernah salah.

Senja hanya semakin menjauh.

Senja mengisyaratkan, “jangan mengagumiku, aku tak ada disepanjang waktu. Tunggu aku, saat mentari menyeberang batas antara ada dan tak ada. Aku hanya sekilas, sesudahnya aku hanya ketiadaan yang bahkan tak sempat engkau rengkuh”.

Ketika ada dan tiada sejenak menyatu.

Ada yang beringsut menjauh.

Ada yang perlahan merengkuh.

Senja selalu seperti ini. Perlahan datang dan seketika menghilang.

Tergantikan keremangan malam, menyisakan kehampaan.

Bayanganku mengais sisa terang sebelum terkubur kegelapan malam yang panjang.

Kita bisa memandanginya bersama, berdua, sendiri atau malah berlalu begitu saja tanpa pernah tau artinya.

Ruam-ruam rindu menyembul melantunkan nada memekikan telinga. Senyap menduga, mulut tak mampu bicara jika ia merindukan senja.

Ku nikmati rindu yang tercipta oleh lengkung jingga, bersama adukan kopi mencoba untuk bernostalgia dan melupakan segenap prahara yang ada.

Namun ia tak pernah sanggup melenyapkan cinta yang paling diam dari pandangan mata, apalagi hati.

Mungkin bagimu senja hanya sebuah angin yang simpang siur disekitaran api unggun. Hingga mematikan api itu perlahan, begitu pula aku.

Pada senja, akhirnya kita mengaku kalah.